KONGRES PARTAI NASIONAL INDONESIA PERTAMA DAN PERSETUJUAN LINGGARJATI

     Semenjak kongres di kediri,yang sekaligus merupakan Kongres P.N.I. I sesudah Proklamasi,P.N.I. mengawali perjuangan untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan.Dalam Anggaran Dasar pasal 2 ditetapkan bahwa P.N.I. berasas sosio-nasional-demokrasi (kebangsaan,kerakyatan,sama-rata,sama-rasa).Ini kemudian tergambar dalam lambang P.N.I. segi-tiga (wajik) dengan kepala banteng di dalamnya,yang menggambarkan sintese antara nasionalisme, demokrasi dan sosialisme (interprestasi lain ialah:demokrasi politik,demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial).Jadi nyata sesudah Proklamasi,P.N.I. tetap setia kepada sosio-demokrasi.

     Tujuan yang disesuaikan dengan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara tercantum dalam pasal 3:
  1. Menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Mewujudkan susunan negara yang berdasar Kedaulatan Rakyat dan ma-
    syarakat yang berdasarkan keadilan sosial (masyarakat sosialis).
  3. Melaksanakan kerja sama dengan bangsa-bangsa lain atas dasar persamaan
    hak untuk mewujudkan susunan dunia baru yang berdasarkan peri ke-
    manusiaan dan peri keadilan.
     Berhubung dengan tujuan-tujuan dalam suasana tersebut, maka dilengkapkan pula pokok-pokok usaha partai (pasal 4) bukan saja di bidang politik,sosial dan ekonomi, melainkan juga di bidang militer (memperkuat adanya tentara kebangsaan dan menuntut adanya milisi umum). Suatu penjelasan mengenai hal ini diberikan oleh Ketua Umum Partai, S.Mangunsarkoro, pada tanggal 22 Februari 1946.
     Selesai menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai, Kongres Kediri juga memilih dewan Partai yang terdiri dari:
  • S.Mangunsarkoro: Ketua Partai
  • Mr.Djodi Gondokusumo: Ketua Daerah Jawa Tengah
  • Mr.Wilopo: Ketua Daerah Jawa Barat
  • Sidiq Djojosukarto: Ketua Daerah Jawa Timur
  • dan lain sebagainya
     Sebagai tempat kedudukan partai,sesuai dengan situasi politik pada waktu itu, termasuk teror Belanda di Jakarta, maka ditetapkan tempat kedudukan Dewan Partai di Yogyakarta. Moedjojo tidak lama memegang jabatannya karena ada pekerjaan lain,dan dengan keputusan konperensi jogya pada tanggal 26 Juli 1946,jabatan Ketua Departemen Umum dipegang oleh Sabilal Rasjad.. Disamping memperbaiki organisasi,tenaga dan pikiran dikerahkan untuk perjuangan bersenjata guna mempertahankan kemerdekaan negara terhadap tindakan-tindakan Belanda, termasuk blokade dari laut dan Clash I (Perang Kolonial I) pada tanggal 21 Juli 1947 untuk tujuan comebacknya dengan bantuan Inggris dan lain-lain.
     Program politik P.N.I. pada waktu itu ialah mengerahkan tenaga rakyat yang sebesar-besarnya untuk ikut perjuangan nasional. Suwirjo dalam hal ini sebagai walikota Jakarta menyumbangkan tenaga untuk tanah air yang tak sedikit. Khususnya P.N.I. berjuang untuk menyelesaikan naskah Persetujuan Linggarjati antara Belanda dan Indonesia di bawah P.M. Sjahrir (15 November 1946), dimana oleh belanda, Pemerintah kita diakui berkuasa de-facto atas Jawa,Madura dan Sumatra, dan memerlukan pengesahan dalam sidang pleno KNIP di malang yang bersejarah itu (25 Februari-6 Maret 1947). Dalam delegasi R.I. ikut duduk anggota P.N.I. yakni Mr.Susanto Tirtoprodjo dan A.K. Gani (Menteri Kemakmuran, Menteri Kehakiman). Memang P.N.I. sejak semula telah tegas hanya menyetujui kemerdekaan dan kedaulatan R.I. sepenuhnya baik ke dalam dan keluar, dan karena itu pula selalu mempertahankan politik bebas, aktif dan non-blok. Sikap P.N.I. yang merupakan satu-satunya partai politik di sulawesi selatan, dilarang belanda pada tanggal 10 September 1946 di dalam rangka pelaksanaan Konperensi Malino (16-22 Juli 1946). Dalam hubungan inipun patut dicatat pembunuhan yang paling kejam oleh Westerling dari "Divisi 17 Desember" Nica terhadap lebih dari 40.000 rakyat yang tak berdosa sama sekali, sejak tanggal 11 Desember 1946.
      Untuk menghadapi naskah Persetujuan Linggarjati maka pada tanggal 8 Desember 1946, P.N.I. bersama dengan Masyumi, KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Barisan Banteng, Partai Wanita Rakyat dan lain-lain masuk menjadi anggota Benteng Republik Indonesia dan ikut aktif bekerja dalam badan gabungan itu agar tujuannya untuk merealisir kemerdekaan bagi Republik Indonesia 100% tercapai sebaik-baiknya. Diantara mereka sangat menentang interpretasi Menteri Jonkman tentang "Linggarjati" pada tanggal 10 Desember 1946, yang menurunkan lagi kedudukan Republik sampai menjadi bagian saja dari suatu uni tanpa kedaulatan sama sekali menurut hukum internasional. Maka untuk menghadapi soal-soal sekitar Linggarjati itu, sebelum sidang pleno KNIP tersebut, P.N.I. mengadakan Kongres Luar Biasa di malang dalam bulan Desember 1946, dimana ditetapkan pendirian dan sikap partai atas hasil perundingan di Linggarjati itu. Dalam suatu pertemuan di istana Presiden di Malioboro,Jogja, pada tanggal 18 Februari 1947 di mana hadir presiden, Jendral Sudirman, Alimin dari P.K.I. atas nama Sayap Kiri dan Mr.Sunario dari Benteng Republik Indonesia, kami(Sunario) menolak saran dari Alimin untuk menyetujui "Linggarjati". Pendirian dan sikap P.N.I. terhadap persetujuan tersebut akhirnya berbunyi:
  1. P.N.I. menolak Persetujuan Linggarjati terutama karena tidak mengandung terang-terangan pengakuan terhadap R.I. secara de-jure (hanya samar-samar tentang de-facto, bahkan terbukti hanya terhadap pemerintahnya saja, khususnya keberatan terhadap konsepsi Uni Indonesia Belanda, yang dikepalai oleh Raja Belanda).
  2. Apabila Persetujuan Linggarjati itu masih juga akan tetap menjadi kenyataan, P.N.I. mengizinkan anggotanya untuk turut dalam pemerintahan, dengan tugas menghapuskan dan sekurang-kurangnya melemahkan effek persetujuan itu. Penandatanganannya atas desakan keras dari wakil Presiden Hatta atas nama Pemerintah, disetujui oleh sidang KNIP Malang setelah terjadi perdebatan sengit, yang mengakibatkan 284 setuju melawan dua tidak setuju, setelah diperluas komposisi KNIP (P.P.No.6/1946).
   Pengesahan akhirnya terjadi setelah fraksi-fraksi P.N.I. dan Masyumi dari Benteng Republik Indonesia tidak memberikan suara dan meninggalkan sidang. Penandatanganan naskah diadakan di jakarta pada tanggal 25 Maret 1947, disetujui oleh Sayap Kiri yang terdiri dari P.K.I., Partai Sosialis, PBI, Pesindo, Laskar Rakyat. Keberatan dari pihak Benteng Republik Indonesia yang bersifat praktis politis ialah bahwa dengan persetujuan itu Belanda akan mendapat kesempatan untuk memperkuat diri di bidang militer, yang akan dipergunakan untuk menghantam kita yang berada dalam keadaan lemah.

Sumber: Buku Banteng segitiga,1988
Pengarang: Prof.Soenario S.H.

0 comments:

Post a Comment